Cerpen: IA

Oleh Shantined

Ia melembutkan pandanganya. Kedua tangannya terkatup , bersangga meja. Dari jauh nampak sawah kecoklatan, berselang seling dengan hijau rumput yang tumbuh di bebatuan. Semburat cahaya pagi memijar, dan elok gunung Cermai membuat sorot matanya makin lembut. Dalam hitungan beberapa detik, ia tak mengedipkan mata. Diperhatikannya benar panorama alam yang terhampar di hadapannya.

Maha indah, maha permai. Sembari memungut sebatang wafer yang lalu diselipkannya di bibir, ia mengaduk kopi yang masih beruap di meja. Aroma kopi di pagi hari, amboi sunguh membuat tenang dan gembira. Namun ini berbeda dengan hari biasanya. Ruap hawa segar udara pegunungan berpadu aroma sedap kopi menjadi istimewa , di saat ide untuk menulis puisi bergejolak. Semacam pompa jet power yang mendesak air menuju ke keran yang dibuka. Menyembur, muncrat kemanapun. Namun ia tetap berusaha tenang, sebagian ide yang berdatangan telah ia simpan dalam file di laptopnya, sebagian telah ia pindahkan melalui suara rekaman di smartphonenya. Aman. Ia menyesap kopinya perlahan. Diseruputnya hingga tak bersisa, selain kelezatan di dalam bibirnya . Tak ada ampas , tak ada buih. Kopi yang membuatnya selalu bersemangat dan bugar. Ia lalu keluar dari kamar, mengenakan sepatu ketsnya. Pagi ini ia berjanji untuk olahraga pagi bersama tim kecilnya, tim yang terdiri dari empat orang yang sedang bersama-sama pergi ke tempat indah ini untuk menulis.

Sejuk angin bertiup, ada sedikit gigil sebenarnya. Namun matahari menyambutnya.

“Hai, kesinilah. Tadahkan kulitmu, akan kuberi sejuta manfaatku” serunya.

Dan rumput yang ia pijakpun ikut berbicara 

“ Bukankah kakimu jarang bertemu denganku dan kawan-kawanku? Coba hitung, dalam sebulan berapa kali kakimu menginjak kami, baik di lapangan atau alam terbuka seperti ini? Selain lantai , keramik, paving block, atau karpet, apa lagi yang kau injak diperkotaan sana? Lantai kantormu yang megah dan mewah, bisakah kau bandingkan dengan kami yang basah dan becek ini? Mana lebih nyaman? ,“ cecar rumput tanpa jeda.

Tiba-tiba serombongan kupu-kupu menghampiri. Seekor berwarna kuning bertengger di punggung lengannya sambal bertanya

 “ Lebih cantik mana, kami atau lampion Kristal yang bergantungan di ruang tidurmu? “

Bukan main ia terperanjat. Diingatnya, ia baru saja membeli sepasang lampu kristal berbentuk kupu-kupu di salah satu toko elite di Singapura, seharga kamar hotel yang ia sewa selama tiga hari menginap di villa ini. Tak habis ia heran,dari mana si kupu-kupu kuning itu tahu?

Ia berjalan terus menuju persawahan. Yang lain belum datang. Mungkin masih asyik dengan laptop masing-masing. Udara yang bersih, jauh dari polusi ia hirup dengan seksama. Baru kali ini lagi ia merasakan kesegaran luar biasa bagi tubuh dan pikirannya. Tak ada asap knalpot, tak ada bising klakson, tak ada musik dan suara-suara mesin di sini. Dari subuh hingga subuh lagi yang ia dengar adalah suara alam. 

Pekik jangkrik, kicau kutilang dan aneka nyanyian burung, paduan suara katak, juga tokek dari berbagai sudut, terdengar hingga ke kamarnya yang asri dan bersih. Pada malam hari, terdengar pula tengcoret bersahut-sahutan tak henti hingga matahari tinggi. Sejenis serangga yang ia sendiri belum pernah melihatnya, namun suara yang dihasilkannya sangat membuat ia nyaman dan terbuai. Serasa berada di hutan. Dan villa yang ia tempati ini sengaja menyuguhkan orchestra alam ini sebagai daya tarik utama bagi pengunjung. Satu hal lagi yang membuatnya terheran-heran, banyak sekali hewan seperti semut , kumbang dan nyamuk yang berada di kawasan ini , namun tidak mengganggu sama sekali. 

Tidak seekorpun nyamuk menggigitnya baik siang maupun malam. Bahkan semut hanya merubung makanan yang tanpa sengaja terjatuh dari meja. Ini benar-benar mengherankan. Benar-benar alam telah menyatu dan bersepakat membuatnya nyaman.

Sekuntum bunga kertas berwarna merah muda bergoyang tertiup angin. Ia ikut berceloteh

“ Andaikan boleh aku dan teman-temanku akan terus menghiburmu. Tapi jangan petik kami. Cukup kau berada di sini, di dekat kami. Duduk dan membacalah, atau sekedar menikmati kopimu. Kami akan menari untukmu”. Amboi, sampai bungapun turut membahagiakannya dengan caranya tersendiri.

Langit tampak biru cerah tanpa awan. Puncak gunung Cermai nampak jelas. Menjulang gagah. Satu dua cangcorang terbang menukik kesana kemari. Belalang hijau tak mau kalah, berloncatan dari daun ke daun dengan lincahnya. Sementara suara - suara alam semakin terasa jelas terdengar. Symphoni alam yang teramat langka ia dapatkan. Seperti dalam mimpi saja rasanya.

Beberapa saat kemudian, datanglah kawan-kawannya,hendak berolahraga. Tapi sungguh aneh. Ini benar-benar aneh. Mayang, yang menjadi maskot kegiatan ini tiba-tiba mengeluarkan suara ringkikan kuda. Ketika berbicara yang keluar dari mulutnya adalah suara kuda , seperti suara yang sering ia jumpai di istal milik keluarganya. Betapa terkejut ia mendapati hal ini. Mayang menggerakkan mulutnya namun yang keluar adalah suara kuda!

Belum habis terkejut, ia kembali dikejutkan dengan tingkah Orin yang mengaum. Hampir sama dengan Mayang tadi, tiap ia ingin berbicara yang keluar dari mulutnya adalah suara auman harimau.

Sangat mengerikan. Suaranya jauh lebih seram daripada harimau yang ia pelihara sejak kecil di sudut halaman rumahnya, harimau yang saat ini kelakuannya menjelma bak anak kucing saja, penurut dan jinak.

Lagi lagi ia terperanjat bukan kepalang, teh Ernis yang menyusul di belakang berlari tergopoh-gopoh sambil seolah berteriak teriak namun yang ia dengar adalah suara burung prenjak. Dari bibirnya yang merah, keluarlah siulan merdu burung. Ia tak asing dengan suara itu, sebab ia memelihara banyak burung jenis itu di rumahnya. Berpuluh-puluh kandang prenjak bahkan sudah tak ia urus dengan baik lagi. Ia sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan di kantornya. Demikian juga dengan harimau, kuda dan beberapa binatang lainnya seperti landak, iguana, merak dan masih banyak lainnya. Rumahnya yang luas dan lapang memang penuh dengan binatang, yang sayang tak ia pelihara dengan baik. Sering kelaparan dan tak terurus.

Suara gaduh ringkikan kuda, auman harimau dan burung prenjak bersatu padu keluar dari mulut ketiga temannya. Padahal mereka sedang berbicara santai di tengah pematang sawah yang disulap menjadi spot pemotretan . 

Sungguh ini hal yang aneh. Benar benar membingungkan. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia hendak bicara kepada kawanan, eh kawan-kawannya itu. Tapi suaranya tak terdengar, selain desisan halus bak suara ular. Ia membuka mulut lebar-lebar, mengeluarkan segenap tenaganya untuk menyapa ketiga kawannya tadi,namun tetap saja suara ular yang keluar. Mendesis persis ular peliharaannya yang mati kelaparan sebab ia kerangkeng dalam kandang dan lupa diberi makan.

Ia berdiri terpaku. Diingatnya semua kesalahannya. Binatang-binatang yang telah ia terlantarkan itu telah merasuk ke dalam raga ketiga kawannya. Penuh rasa sesal ia hendak melangkah pergi. Tapi seranting pohon menghambat langkahnya. Astaga ia tak lagi berdiri. Ia merayap kini serupa ular derik, atau sawah, entahlah.


Rajagaluh 7 April 2021

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak