Oleh Ubaidillah Arif
Apa yang kamu rencanakan pada usia 15 tahun?
Pertanyaan itu muncul setelah saya menyelesaikan novel setebal 608 halaman Dunia Kafka karya Haruki Murakami di layar 6.67 inci, selama 5 jam, setiap hari, dalam 7 hari.
Kafka seolah menjawab, ‘Menjadi seorang bocah pelarian di usia 15 tahun tertangguh di dunia’. Bahkan, ia sudah melakukan persiapan sejak dua tahun sebelumnya dengan cara menyerap hampir seluruh pengetahuan yang ia dapatkan di sekolah. Salah satu yang paling difokuskan adalah soal kebugaran. Ia belajar menggunakan alat-alat kebugaran agar otot-ototnya kencang dan tidak terlihat seperti bocah krempeng umur lima belasan.
Mulanya, Kafka ingin sekali pergi dari rumah, daerah Nakano, di Tokyo, karena muak dengan kelakuan juga kutukan Sang ayah yang ditujukan padanya, “Suatu hari kelak kau akan membunuh ayahmu dan meniduri ibumu”. Akan tetapi, dalam pelariannya, menuju Shikoku, salah satu daerah di Takamatsu, Kafka seolah menuju takdir itu. Bertemu dengan Sakura, Oshima, dan Nona Saeki. Orang-orang yang memiliki peran penting dalam keseluruhan cerita Dunia Kafka, juga takdir Kafka sendiri. Mereka saling terikat dan terkait dalam hubungan mendalam.
Sakura adalah orang pertama yang Kafka temui dalam pelariannya. Mereka bertemu dalam satu bus dan memiliki tujuan sama pula, yaitu stasiun Takamatsu. Mereka berkenalan, berbagi sedikit pengalaman, lalu berteman. Setelah berpisah di stasiun, mereka hanya sekali melakukan pertemuan. Yakni, ketika Kafka mengalami kejadian ganjil, tiba-tiba pingsan. Setelah sadar, ia mendapati dirinya berada di halaman sebuah kuil dengan baju penuh darah. Tanpa luka-luka. Kemudian Kafka menelpon Sakura, semacam meminta pertolongan. Dan Sakura menyuruh Kafka datang ke apartemennya, mengizinkan Kafka tinggal untuk sementara. Untuk sekadar berbagi kebingungan, juga meredakan kegelisahan. Kalian akan tahu bagaimana cara Sakura menghilangkan kegelisahan Kafka jika membaca novelnya.
Kafka memiliki obsesi dan kecintaan cukup besar pada buku dan pengetahuan. Maka, tempat yang pertama kali Kafka cari dan kunjungi di Shikoku adalah Perpustakan. Setelah bertanya, Kafka mendapati informasi dan petunjuk menuju sebuah perpustakaan pribadi milik keluarga Komoura. Di sanalah, di ‘Perpustakaan Komoura’ itu, ia tinggal dan bertemu Oshima, pustakawan berwawasan luas, tegas, dan terbuka. Oshima menjadi karakter pendukung dan teman berdiskusi yang menarik bagi Kafka. Seolah-olah, kehadiran Oshima adalah kunci jawaban bagi setiap pertanyaan-pertanyaan Kafka. Kita bisa lihat, bagaimana Oshima memberikan penjelasan yang detail dan menakjubkan tentang teori Chekov, pendapat Aristoteles, Oidipus Complex, sampai kisah Genji, dan perspektif yang cukup mengesankan mengenai pandangannya tentang LGBT.
Nona Saeki adalah manager sekaligus pewaris dari perpustakan pribadi milik keluarga Komoura. Usianya sekitar 50-an. Akan tetapi, masih terlihat cantik dan ramah pada setiap orang yang dijumpainya. Meskipun demikian, tatapannya selalu kosong. Seakan-akan, ia adalah wujud kehampaan paling gelap, curam dan sangat dalam. Ia bertahan hidup sejauh ini tak lebih sekadar melanjutkan hidup saja. Tak ada alasan lain. Sebab, ia merasa hidupnya telah selesai 30 tahun yang lalu, sejak kekasihnya meninggal, lalu meninggalkan setengah bayangannya di dunia metafisik atau realitas alternatif lewat batu masuk. Kemudian, mengabadikan momen itu pada sebuah puisi atau lirik lagu “Kafka di tepi pantai” yang terkenal.
Lagu itu mengganggu pikiran Kafka. Apakah nama kekasih Nona Saeki adalah Kafka? Atau, Kafka yang dimaksud adalah aku? Bagaimana mungkin? Aku baru umur 15 tahun. Sedangkan umur Nona Saeki sudah 50-an? Kenapa begitu sangat kebetulan? Akhirnya, Kafka mendapat informasi dari Oshima tentang apa dan siapa Nona Saeki di masa lalu. Meski itu hanya informasi sepenggal saja. Kafka menjadi semakin tertarik pada Nona Saeki, pada kepribadiannya, kisah masa lalunya, kemudian jatuh cinta, lalu bercinta dengan ibu-nya. (Setidaknya, dalam teori Kafka, Nona Saeki adalah ibunya yang pergi meninggalkan dirinya waktu kecil)
Novel Dunia Kafka tidak hanya berpusat pada seorang Kafka, bocah pelarian 15 tahun yang tangguh itu. Di sisi lain, hadir sosok Tuan Nakata. Laki-laki paruh baya yang merasa dirinya paling bodoh di dunia. Tidak hanya bodoh, “Diri saya rasanya kosong. Ibarat perpustakaan tanpa buku”.
Kisah perjalanan Kafka dan Tuan Nakata berkelindan, bergantian dari satu bab ke bab berikutnya. Seolah, mereka dua kepribadian yang bertolak dari kepribadian lainnya. Namun, mereka saling terjalin dalam dunia yang lain.
Meski bodoh dan mengidap penyakit disleksia, Tuan Nakata juga istimewa. Ia bisa berbicara dengan kucing. Sebab kelebihannya itu, selain hidup bermodalkan subsidi dari pemerintah, ia sembunyi-sembunyi melakukan pekerjaan untuk mendapatkan uang jajan tambahan: Tukang cari kucing tetangga yang hilang.
Akan Tetapi, perubahan besar terjadi pada Tuan Nakata sejak tragedi pembunuhan yang ia lakukan pada seorang mafia Pembunuh kucing tak dikenal, Johnnie Walker. Seolah, membunuh Johnnie Walker adalah pintu menuju rahasia alam semesta. Seperti, ia tahu bahwa dua hari setelah hari pembunuhan akan terjadi peristiwa turun hujan ikan sarden, disusul hujan lintah. Dan peristiwa itu masuk berita di TV, lalu ramai diperbincangkan orang, bahkan nyaris tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Keistimewaan Tuan Nakata tiba-tiba lenyap. Ia tidak lagi bisa berbicara dengan kucing. Tidak lagi memahami apa yang dikatakan kucing. Ketika bertemu dengan kucing di jalan, yang ia dengar hanyalah sebatas ngeang-ngeong belaka. Keistimewaan itu berubah, berganti, atau berpindah. Tuan Nakata, seolah-olah, mendapat sebuah ilham untuk menyelesaikan sebuah misi dari rahasia alam semesta, rahasia tuhan, rahasia dewa-dewa, atau apalah. Terserah! Menemukan batu masuk.
Berkat bantuan Hoshino, seorang sopir truk, misi itu dan rahasia di balik batu masuk akhirnya terselesaikan. Meski tidak mudah. Hoshino yang rela meninggalkan pekerjaannya demi membantu dan mengikuti jejak Tuan Nakata, beranggapan bahwa Tuan Nakata adalah orang tua aneh, tetapi memiliki kepribadian dan sudut pandang tentang hidup yang menarik—fatalis dan pasrah. Bergerak sesuai hati nurani, berdiam diri seolah mendapat wahyu dari sang ilahi. Merasa paling bodoh di dunia serta mengidap penyakit disleksia. Tetapi, istimewa, juga sederhana. Itulah Tuan Nakata. “Saya melakukan sesuatu bukan karena ingin, melainkan harus”.
Setelah membaca novel Dunia Kafka yang surealis tapi ‘hidup’, alur yang berkelok-kelok tapi nagih, serta bejibun perkara-perkara ganjil, rasa-rasanya, Murakami hanya ingin menawarkan dua pilihan. Barangkali untuk sebuah cara memandang hidup. Setidaknya, menjadi Kafka atau Tuan Nakata.
Kebun, 29 Januari 2025