Perguruan Senam

 

Oleh Ubaidillah Arif

Sejak perguruan senam itu didirikan, peminatnya tidak pernah berkurang. Bahkan terus bertambah setiap harinya. Anggotanya banyak dari kalangan ibu-ibu. Karena target dan misi dari perguruan senam sendiri adalah “Ibu rumah tangga sehat, Ibu rumah tangga kreatif, Ibu rumah tangga bahagia”. 

Untuk masuk dan tergabung sebagai anggota perguruan senam tidaklah gratis. Tapi, tidak terbilang mahal juga untuk kalangan ibu-ibu dengan ekonomi menengah ke bawa—Ibu-ibu perkampungan yang rumahnya berada dalam gempuran gapura-gapura komplek. Alasan yang paling bisa diterima karena yang mendirikan penguruan senam itu adalah seorang janda dua anak yang pekerjaan sehari-harinya menjadi ART di salah satu komplek itu. 

Namanya Bu Nisa. Ia mendirikan perguruan senam buat sampingan. Buat jajan tambahan anak-anaknya yang masih sekolah, meskipun, di sekolahnya sudah tersedia subsidi makan gratis dari pemerintah. Juga anak keduanya, yang tahun depan akan mengikuti jejak kakaknya di bangku SD. Suaminya satpam. Meninggal digigit ular, dua tahun lalu, saat membantu mengevakuasi ular yang masuk ke salah satu rumah ketika banjir di komplek tempatnya bekerja.  

Akhirnya, Bu Nisa menjelma tulang punggung. Dari tulang rusuk jadi tulang punggung. Atau tulang punggung dari tulang rusuk. Atau tulang rusuk yang bermetamorfosis jadi benda cair, menguap menjadi gas, kemudian memadat dengan kandungan molekul-molekul yang akhirnya melakukan gerak translasi ke bagian punggung. . . dan seterusnya. Dua tahun menjadi ART. Satu tahun memimpin dan mengurus perguruan senam. 

Ide dan memantabkan niat membangun perguruan senam tidak datang begitu saja. Kesibukan sebagai ART dan mengurus dua anak, sudah cukup menguras tenaga. Gajinya tak seberapa. Jadi, untuk memenuhi kata ‘menabung’, nyaris tak ada sisa. Akhirnya, pengalaman pernah tergabung dengan komunitas senam, Bu Nisa berencana memanfaatkan waktu liburnya. Membangun komunitas senamnya sendiri. ‘Perguruan Senam’.

Senin dan kamis adalah hari libur Bu Nisa. Dan hari itu pulalah perguruan senam melangsungkan rutinitasnya. Jam tiga sore sampai terbit awan merah di barat sana. 

Selain berloncat-loncat ria, perguruan senam juga menjadi tempat bertukar cerita. Bergosip adalah bagian terpentingnya. Tentang apa saja. Tentang kelakuan orang komplek. Penggusuran rumah untuk jalan tol. Kenaikan harga sembako. Bahkan, yang terbaru mengenai tabung gas melon yang mulai langka. 

“Ampun seribu ampun. Kemarin saya muter-muter cari tabung gas. Susahnya, ya Allah!” Kata Bu Marni, memulai obrolan.

“Betul, Bu. Tadi aja, saya keliling ke warung-warung lintas kelurahan. Tujuh belas warung bilang kaga ada,” sahut Bu Surti. Begitu seterusnya. Bergantian.

“Itu loh, Bu, di pangkalan Pak Kosim. Saya kemarin dapet dari sana. Tapi, antrinya udah kayak jalan tol Serpong-Cinere. Hadeuhhh!”

“Sama, Bu. Saya kemarin juga ikut antri di sana. Di depan saya ada yang pingsan loh. Astaghfirullah. Bahkan, kabarnya, ada yang meninggal semalam”. 

“Inna lillahi!” Kata yang lain nyaris barengan.

Obrolan hari itu pecah setelah Bu Nisa memberikan intruksi bahwa senam akan dimulai. 

“Baik, Ibu-Ibu, sebelum rutinitas dimulai, silakan ambil posisi masing-masing seperti biasa. Jaga jarak aman. Fokus. Tarik napas. Lepaskan. Ulangi sampai tiga kali!” kata Bu Nisa memberi komando. Lalu, “Langit di luar, langit di dalam, bersatu dalam jiwa. Musik!”

Sebagaimana misi dari Perguruan senam, ibu-ibu anggota senam biasa menggubah ulang, atau merubah lirik-lirik dalam lagu senam yang mereka putar sesuai dengan suasana hati mereka. Semacam bakat atau kreatifitas alami yang terpendam. Jadi, mereka percaya bahwa senam adalah salah satu ruang untuk berekspresi dan meluapkan emosi. 

Goyang Dumang. Lagu pertama selesai. 

Kemudian lanjut lagu kedua, Goyang Dua Jari. Suasana senam masih berlangsung tenang. Setenang kebon-kebon mereka sebelum dibangun tol.

Akan tetapi, ketika lagu DJ Tabrak Masuk diputar, Bu Marni, Bu Surti, dan yang lainnya, seolah menjadi begitu bergairah dan semangat. Geraknya menjadi kurang beraturan. Ada letupan-letupan emosi yang tak bisa mereka bendung. Mereka harus mengeluarkannya. Mereka harus meluapkannya. “Inilah saatnya!” Seolah, mereka serempak mengatakan itu. Mereka loncat-loncat sambil nyanyi seirama, meskipun lirik lagu ketiga itu terdengar beda-beda. 

“Oke gas, oke gas, rakyat susah cari gas. .”

“Tabung gas, tabung gas, tambah naik torang gasss. .”

“Oke gass, oke gas, tetep jogetin aja gasss. .”

“Oke gass, oke gasss, mati aja kau sana gassssss”

Dan seterusnya. Dan Seterusnya.


Al-Zastrouw Library, 4 Februari 2025



Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak