Cerpen: Tabung Biru

 Oleh Ayu Alfiah Jonas

Patra bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud Nusan. Sebelum sampai ke rumah sakit, ia mesti melawan sengat panas matahari, ganas kemacetan di pagi hari dan gelisah dalam dirinya sendiri.

Tubuh Patra bergetar, ia cemas dan belum siap menyaksikan hal paling aneh dari segala kejadian aneh di dunia. Beberapa hari yang lalu, ia menerima pesan dari Nusan dan berjanji tak akan membaca pesan itu lagi. Di hari-hari selanjutnya, pesan itu justru terus-menerus muncul di benaknya, dalam sebelum dan sesudah tidurnya, membuat gelisah di setiap desahan napasnya. Banyak hal yang kemudian dipikirkan Patra setelahnya.

“Tidak mungkin...” Gumamnya, sembari tetap mengepalkan tangan dan menyisir koridor utama rumah sakit. Napasnya terengah, seluruh tubuhnya gemetaran.

Pesan dari Nusan membuatnya tak bisa makan banyak. Ia harus menelan dengan terpaksa setiap menemui makanan dalam piring atau mangkuk di hadapannya. Untuk menghentikan ketidaknyamanan, Patra sengaja datang dan bersiap menyaksikan apa yang akan terjadi. Ia merasa perlu menjadi saksi peristiwa itu agar nafsu makannya kembali, agar ia tak memikirkan apa-apa lagi. Ia memicingkan mata, mengamati lebih detail bagaimana keadaan rumah sakit, mencari-cari sesuatu yang terlihat aneh baginya. 

Ia sendiri tak bisa membayangkan bagaimana seorang manusia tercipta tak seperti dirinya. Sebuah proses penciptaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Konon, beratus-ratus tahun sebelum segala zaman bergerak dan berubah, orang-orang diciptakan dengan cara itu dan isi kepala Patra sungguh belum bisa menerimanya.

Sepanjang memicingkan mata, Patra mengamati sedetail mungkin apa yang ditangkap matanya. Ratusan suster dan dokter bekerja seperti biasa dan berjalan melewatinya. Para pasien dalam ranjang listrik melenggang dari satu pintu ke pintu lain. Rumah sakit itu normal laiknya rumah sakit lain, tak ada yang aneh dari wajah-wajah yang dijumpainya. Sejenak Patra menghela napas sebelum memutuskan untuk meneruskan langkah kakinya, berjalan lurus menuju sebuah ruangan: menemui Nusan.

***

Semua orang tak pernah lahir dari rahim seorang ibu. Patra lahir dari sebuah Tabung Biru, spermanya berasal dari seorang dokter paling terkenal di Casala. Sedang Nusan, ia tak pernah mengenal orangtua kandung pemilik sperma dan sel telur yang juga tak pernah melahirkannya. Ia hanya punya orang tua angkat sebab konon ia berasal dari sperma Stephen Hawking, diboyong dari Bank Sperma Dunia oleh seorang penjaga perpustakaan nan cantik jelita di Leiden, lalu dibawa ke Casala. Mungkin itulah alasan mengapa Nusan begitu cerdas dan disukai banyak orang.

Mereka diciptakan dalam sebuah tabung bening berlampu biru dengan sperma dan sel telur yang bersatu padu. Pihak rumah sakit menyebutnya “Tabung Biru”.

Di universitas, Patra bertemu seorang teman bernama Akasa Guriam yang dengan sangat percaya diri bersumpah bahwa ia berasal dari rahim seorang perempuan yang kini ia panggil ibu. Ia tak berasal dari Tabung Biru.

Semua orang tentu saja tak percaya itu. Baik Patra atau pun Nusan memanggil orangtua yang mengasuh mereka dengan sebutan “ibu”, namun para perempuan pemilik sel telur di dalam Tabung Biru itu sama sekali tak pernah mengandung bahkan melahirkan mereka. Sayangnya, perempuan yang dipanggil “ibu” oleh Akasa, Mrs. Guriam, benar-benar perempuan yang melahirkan Akasa dari rahimnya sendiri dan membesarkan Akasa dengan sepenuh hati. Tanpa Tabung Biru. Tanpa prosedur dari rumah sakit yang rumit dan beban ini-itu. Tanpa dibantu.

Patra tak percaya sama sekali. Seumur hidupnya, ia hanya tahu bahwa semua orang berasal dari sebuah Tabung Biru di rumah sakit tertentu.

Saat melewati ruang tabung, Patra sengaja menghentikan jejak kakinya. Ia menikmati detik demi detik saat mata kepalanya sendiri menyaksikan tabung-tabung biru dijaga dengan sangat baik. Tiga orang ahli berjaga di setiap satu tabung.

Sejak mula sel telur dan sperma disatukan, tabung-tabung itu tak pernah luput dari penjagaan dan pemeriksaan rutin. Dua belas bulan penyatuan sel telur dan sperma terjadi dengan sangat menakjubkan. Dari dua cairan itulah Patra hidup sejak bayi hingga usia dewasa. Setelah berhasil melewati masa-masa di Tabung Biru, Patra dikeluarkan dan siap menjalankan hidupnya di dunia, melewati apa yang sebenarnya dinamakan bernapas dan menyelesaikan masalah.

Dua ratus tahun silam, seorang profesor berhasil menciptakannya: Tabung Biru sebagai alat untuk menciptakan manusia. Ruang-ruang kecil untuk memulai kehidupan besar. Sistem kedokteran dan teknologi berhasil dirancang sedemikian canggih sehingga mampu membuat itu. Nyawa-nyawa baru dihadirkan.

Konon, Tabung Biru adalah penemuan paling mutakhir sepanjang abad-abad dalam hitungan kehidupan yang diciptakan manusia. Tak ada yang menandingi kecanggihan Tabung Biru. Ia adalah mesin paling hebat sepanjang sejarah umat manusia. Setidaknya, itulah yang Patra dapatkan dari bangku sekolah.

***

Sebelum memutuskan untuk datang ke rumah sakit, Nusan telah terlebih dahulu rebah di bahu Patra dan menangis sejadi-jadinya.

“Mengapa perempuan ini melakukan hal bodoh?” Nusan tak berhenti menggelengkan kepala. “Perempuan memperjuangkan ini selama dua ratus tahun dan semua usaha ini sia-sia dalam pelaksanaannya yang bahkan belum genap seratus tahun.”

Patra pernah mendengar dari celoteh Akasa dan membacanya sekilas dari sebuah buku, tiga ratus tahun yang lalu, bahkan berabad-abad sebelum tiga ratus tahun itu, seorang manusia dilahirkan oleh manusia yang lebih tua lainnya. Bukan dalam sebuah Tabung Biru dan tumbuh dengan banyak selang dan perawatan yang menjengkelkan. Patra tak percaya. Ia tak menemukan bukti kuat atas pernyataan itu.

Yang ia tahu, setelah mengalami menstruasi pertama, seorang perempuan akan pergi ke dokter dan melakukan sebuah prosedur di mana rahimnya diangkat atau dibuat tak bisa dibuahi. Selanjutnya, sel-sel telur akan disimpan dalam sebuah kotak steril dan kelak ketika mereka menikah, sel telur itu akan disatukan dengan sperma pasangannya di dalam Tabung Biru.

Patra tak mengerti bagaimana memindahkan sel telur dan sperma dari masing-masing tubuh manusia. Nusan pernah menjelaskan padanya namun terlalu berbelit dan memusingkan. Yang ditangkap Patra justru sejarah pembuatan Tabung Biru. Seratus tahun sebelum ia dilahirkan di dunia, konon negaranya mengalami wabah kanker serviks. Banyak konspirasi mengenai wabah mematikan ini. Sejak kecil, Patra mencoba mendedahnya satu persatu namun tetap hanya bermuara pada satu dugaan paling realistis: perilaku seks bebas.

“Ia telah menggagalkan hasil perjuangan para perempuan...” Nusan tersedu.

Parta membayangkan perjuangan para perempuan beratus tahun yang lalu agar tak mengandung. Dongeng itu sering didengarnya dari sang kakek, guru bagi hidupnya. Konon, dahulu, sebelum ada Tabung Biru, permasalahan besar terjadi di dunia. Kakek Patra menyebutnya dengan bencana salah tafsir kesetaraan. Patra hanya mengangguk ketika Sang Kakek menceritakan bahwa buyut-buyutnya sangat memperjuangkan kehadiran Tabung Biru sebagai pengganti kehamilan di dalam tubuh perempuan.

***

Patra tiba di ruangan yang ditujunya. Ia menubruk Nusan yang terus-menerus menggigit jemarinya. Kebiasaan sejak kecil saat ia sedang panik atau takut. Ia berdiri namun tubuhnya bergetar melihat kenyataan di sebelah ruangan. Patra tak bisa berkedip. Ia penasaran mengamati detik demi detik proses persalinan.

Dari balik kaca, Patra merasakan nyeri paling ngeri saat melihat Mrs. Guriam menahan sakit, menjerit mengeluarkan seonggok kepala dari balik pahanya. Ia menyaksikan bagaimana Mrs. Guriam bersimbah keringat dan berteriak kencang untuk menahan bulir air mata atas sakit yang diderita.

Patra mendesir.

Mrs. Guriam seakan menampilkan wajah paling menderita miliknya. Tangan kanan dan kirinya mencengkeram kedua sisi selimut dan tubuhnya menggelinjang kuat, kedua kakinya menendang-nendang tak karuan. Patra bisa melihat betapa rahang wanita itu menunjukkan urat-uratnya yang berwarna biru kehijauan. Seluruh bagian tubuhnya bekerja keras sementara dari bawah pahanya, pelan-pelan, seonggok makhluk kecil mulai keluar. 

Pertama-tama, kepalanya.

Tak ada suara lain selain jeritan dan desah dari doa Mr. Guriam yang menyaksikan persalinan istrinya dari jarak yang begitu dekat, tepat di samping Mrs. Guriam sambil terus merapal doa entah berisi pengharapan yang bagaimana.

Setelah kepalanya keluar, bayi itu mulai menangis. Kemudian dengan cepat keluarlah lehernya, tangan kanan dan kirinya, dadanya, perutnya, pahanya, betisnya, lalu kakinya yang segera menendang-nendang udara. Setelah itu, menyatunya ari-ari berhasil membuat bayi itu berteriak kesakitan. Sang dokter bergegas memotongnya. Kedua manusia itu dengan mudahnya dapat dipisahkan.

Patra meringis.

Ia hampir tak mengedipkan mata selama berjam-jam saat peristiwa itu terjadi. Baginya, selain rasa sakit yang di derita Mrs. Guriam, banyak hal janggal dan tak bisa diterima kesadarannya. Bagaimana Mr. Guriam tega menyaksian sebuah perpisahan dua manusia dengan senyum dan kerelaan Mrs. Guriam yang bersedia merasakan sakit sebegitu nyeri?

Nusan tergugu menyaksikan seorang perempuan yang terkapar pingsan setelah melahirkan dan bayi mungil yang tak berhenti menangis di sisi kanannya. “Keduanya sangat kesakitan. Keduanya sama-sama menahan beban.” Ujarnya.

Bagi Patra, apa yang baru saja dilihatnya adalah hal paling aneh dalam hidupnya. Patra melirik ke Akasa. Akasa tersenyum pada Patra. Ia seolah meyakinkan Patra bahwa jauh sebelum zaman Tabung Biru, proses persalinan adalah hal biasa.

Patra menghembuskan napas sekuat-kuatnya, masih tak percaya. Sembari terus melihat ke Mr. Guriam, diam-diam, Patra menghidupkan layar jam ponsel yang menempel di lengan kirinya dan membaca lagi pesan dari Nusan:


“Mrs. Guriam akan melahirkan.

 Datanglah ke Rumah Sakit Casala,

 3 Maret 2386 jam 10 pagi.”

Ciputat, 2017

***


Ayu Alfiah Jonas

Menulis novel eksistensial Kisah Makhluk Berpikir (2023) dan kumpulan esai feminisme Perempuan: Agama, Stigma, Cita-cita (2024).

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak