Kunci Menerapkan Kurikulum Merdeka

Oleh M. Yus Yunus

Sudah masuk tahun ketiga semenjak kurikulum merdeka mulai diterapkan di sekolah-sekolah. Selama tiga tahu ini pula banyak isu berseliweran mewarnai gonjang-ganjing dunia pendidikan di Negeri ini, sampai akhirnya Mas menteri turut diganti setelah pergantian masa kepemimpinan Bapak Jokowi. Namun apa daya, Bapak menteri yang baru bisa berbuat apa, sementara isu dan polemik kurikulum masih hilir mudik di beranda maya.

Seorang pelajar kelas dua sekolah dasar belum dapat menulis karena suatu faktor, namun media menyebut itu sebagai kegagalan kurikulum. Jelas bahwa siapapun yang mengatakan itu, tentunya bahwa orang tersebut belumlah merdeka. Sebab Ia menilai sesuatu dengan kacamata tuntutan dan keharusan. Seseorang yang telah mendapatkan tuntutan, keharusan, dan steriotap pakem yang memwajibkan seseorang mencapai satu titik tersebut lalu kemudian Ia mempergunakannya untuk menuntut orang lain maka sejatinya Ia belum menjadi manusia merdeka. 

Kurikulum merdeka tentunya bertujuan untuk menciptakan manusia merdeka yang berilmu dan berpengetahuan, lebih lanjut memiliki karakter Pancasila atau yang disebut dengan profil pelajar pancasila. Namun untuk membangun itu semua bukan dengan fasilitas pendidikan seperti laptop atau buku, bukan juga dengan sederet lis mata pelajaran yang banyak. Akan tetapi dapat dibangun dengan membentuk sebuah kesadaran. 

Membangun pendidikan yang memerdekan manusia seperti cita-cita leluhur kita memang bukan perkara gampang. Serangkaian skema telah dibuat untuk mencapai itu, dari paradigma baru hingga tuntutan penggunaan aplikasi PKM dikalangan guru ASN guna menggenjot kompetensi tenaga pendidik dan pelatihan Guru Penggerak yang tidak kenal waktu. Sabtu --minggu masih dibabat, tidak perduli libur yang penting cita-cita negara dan segala persiapannya terususun mantap.

Namun yang paling intim dari kurikulum merdeka bukanlah persoalan pengaturan ketuntasan belajar, atau perhitungan nilai ujian, baik ketrampilan maupun pengetahuan. Karena nilai sejatinya persoalan situasi dan kondisi yang tidak paten. Yang berhubungan dengan pengalaman empiris dan perkembangan kognitif. Contohlah dibeberapa kasus ada seorang anak yang tidak berprestasi saat SMP, namun Ia begitu membanggakan saat SMA. Memang penyebabnya karena beberapa faktor, salah satunya yaitu guru atau tenaga pendidik. Bagaimana seorang murid menemukan guru yang pas untuk dirinya. Atau bagaimana menjadi guru yang baik untuk siswanya.

Dalam tulisan ini, kita tidak akan lagi membahas gaya belajar siswa untuk mencapai pembelajaran yang berdiferensi. Atau memaksimalkan potensi murid melalui gaya belajar mereka. Akan tetapi bagaimana kurikulum merdeka ini dapat diterapkan, yaitu kuncinya adalah dengan membangun kesadaran. Hal ini dimaksudkan agar siswa memiliki dasar atas kemerdekaan yang Ia dapatkan sebagai seorang pelajar.

Dasar dari merdeka itu sendiri perlu didoktrin kepada siswa agar setiap lakunya saat belajar memiliki batasan. Yaitu dengan mengajarkan norma, dan logika positif. Tentunya untuk membangun kesadaran itu tidak hanya cukup melalui pembelajaran di kelas dengan mapel PAI, PP, atau Sastra. Mereka pula perlu melakukan kebiasaan positif yang berulang dengan sistem perjanjian.

Siswa diajak untuk membuat kesepakan, ambil contoh seperti bagaimana jika mengantuk di dalam kelas? Apa yang harus dilakukan? Dan bagaimana jika tidak dilakukan? Kesepakatan tersebut akan mengantarkan siswa menuju kesadaran.

Tidak hanya dengan pembiasaan positif, dan kesepakatan kelas saja. Seorang guru juga perlu banyak melakukan diskusi untuk membuat satu tindakan guna membangun kesadaran. Seperti membicarakan apa yang terbaik untuk dilakukan agar dalam menyerap pembelajaran lebih mudah. Atau mendiskusikan soal bagaimana kinerja struktur pengurus kelas, jika menemukan masalah apa solusinya. Sehingga siswa merasa diajarkan untuk hidup merdeka berpendapat, merdeka berpikir, merdeka bertindak, dan merdeka belajar namun masih berdasarkan norma-norma yang berlaku termasuk etika.

Tidak hanya siswa yang perlu sadar dengan perannya sebagai pelajara, begitu juga dengan kita sebagai orang dewasa. Guru mungkin hanya kita jumpai pada jam pelajaran di dalam kelas, namun sesosok guru dapat kita temukan dimana saja. Mereka ada di dalam rumah melalui peran keluarga, mereka ada di lingkungan RT atau RW melalu lingkungan masyarakat, atau bahkan mereka berada di jalan raya melalui hilir mudik. Dan anak-anak kita tentunya akan mengambil contoh.

Anggaplah sekarang kita telah sadar, dan sepakat bahwa tanggung jawab pendidikan adalah tugas kita bersama. Maka melalui kesadaran itu perlulah dari kita semua belajar untuk bagaimana menjadi seorang contoh, dan teladan yang baik untuk anak-anak kita nanti. Ingat apa yang kita lakukan, sadar atau tidak, mereka menirunya. Maka jadilah orang tua yang mengikuti norma dan tetap merdeka.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak