DARI SEBATANG POHON MENUJU HUTAN KESADARAN

Oleh Ubaidillah Arif

Malam itu, dalam perjamuan Semaan Puisi episode-72, kami—delapan hati yang melingkar, sedang bergembira menunaikan ibadah puisi dan dunia kepenyairan Beni Setia. Dipandu dan dikumandangkan langsung oleh Kiai Angin Kamajaya di beranda ndalem pengasuh pondok pesantren Wujud al-Qahwah, Syekh Mahwi Air Tawar. Puisi terakhir telah dibacakan. Dan doa penutup segera dipanjatkan. Tiba-tiba, sosok bersarung mengenakan topi bowler yang menutupi surat-surat malaikat di kepalanya, datang menenteng sebuah tas dengan muatan isi yang, sepertinya, tidak ringan. Pak Mus, begitulah kami akrab memanggil sesepuh jurnalis Tempo itu, dengan nama lengkap Mustafa Ismail. 

“Aku masih kebagian menu puisi untuk dibacakan?” tanya Pak Mus setelah mengambil posisi tempat duduk dengan nyaman. 

“Tidak ada.” Jawab Kiai Angin. “Tapi, Pak Mus, barangkali menyimpan arsip-arsip puisi Beni Setia di Tempo dan tak sempat diterbitkan?”

Pak Mus membuka ponselnya. Mencari dan membuka folder-folder lama yang, mungkin, jarang dibukanya. “Ada!” sambil tersenyum, kemudian dengan khidmat beliau membaca.

Kami lanjut berbincang-bincang santai, tentunya seputar kehidupan Beni Setia—seorang cerpenis dan esais kelahiran Bandung, juga sosok “Penyair yang Seperti Namanya”. Lalu, di tengah-tengah obrolan yang berlangsung kian hangat, sehangat teh poci kloter kedua yang masih ngebul di atas meja, Pak Mus membuka tas warna hitam dan mengeluarkan buku bersegel plastik dua eksemplar. “Ini buku terbaruku. Satu untukmu,” kata Pak Mus kepada Kiai Angin, “Satu lagi untuk Syekh Mahwi. Berhubung dia sedang pulang ke Jogja, kutitipkan saja padamu,” memberikan buku itu kepadaku. 

Aku terima sebuah buku Rahasia Sebatang Pohon; kisah-kisah ringan yang menggugah dengan kedua tanganku. Kemudian, kupandangi gambar sampul bagian depan lekat-lekat—sepasang kekasih sedang duduk di bangku panjang, di bawah pohon (sala?) besar, hijau, dan rindang. Betapa sejuknya hatiku. Teduh. Tenang. Seperti kesiur angin musim semi sedang mengelus-elus lembut di dada ini. Aku merasa seolah tangan penuh kasih sedang merawat luka-luka tusukan onak duri. Sebuah sentuhan dengan tingkat kehalusan feminin yang tak mampu terbayangkan sebelumnya. Luar biasa. 

Mulai kubaca perlahan-lahan. Judul demi judul. Kisah demi kisah. 33 judul kisah ditulis dengan gaya bersahaja memenuhi halaman demi halaman. Tidak panjang-panjang dan tidak terlalu pendek-pendek pula. Betul-betul sekumpulan kisah tentang refleksi hidup yang sarat makna. Aku tidak perlu mengerutkan dahi dan menyambung alis untuk menuntaskannya.

Buku Rahasia Sebatang Pohon bukanlah kitab suci yang menjanjikan jalan lurus menuju kehidupan yang lebih baik, Syekh Mahwi Air Tawar berkata, dalam epilog terlampir di halaman terakhir. Tapi, kehadirannya dijagat literasi bisa membawa kita pada ruang-ruang kontemplasi dengan bahasa dan cara yang sederhana. Berangkat dari hal-hal kecil, lewat kisah-kisah kecil yang seringkali kita abaikan dalam hidup kita. Padahal, sekecil-kecilnya sesuatu jika dilakoni dengan istiqamah, akan membuat kita tumbuh kuat dan jadi manusia cukup daya. 

Hidup bukan soal seberapa besar jejak yang kita buat di dunia, tapi seberapa dalam kita menyentuh hati orang lain.

Kira-kira begitulah arti “Apa yang Ditinggalkan Ombak”. Salah satu kisah paling menyentuh, setidaknya bagiku. Kisah dan kesan mendalam di hati seorang nelayan tua ketika menyaksikan gadis kecil bermain di tepi pantai, tiap sore membangun istana pasir, lengkap dengan menara kecil dan parit di sekelilingnya. Meski gadis kecil itu tahu, lidah-lidah pasang ombak akan menghancurkan kebahagiannya. Tapi, “Karena aku senang melakukannya. Besok aku akan membuatnya lagi.”

Seorang penulis dan pegiat budaya, Siti Salmah, turut menyambut kehadiran buku manis, semanis kurma, itu. Ia berkata bahwa Rahasia Sebatang Pohon mengajak kita menyelami makna hidup, kehilangan, dan keikhlasan. Bahwa kematian bukanlah suatu kehampaan, melainkan cahaya yang padam dengan tenang. Bahwa segala yang bermula, kelak pasti berakhir juga. Kisah “Dan Lilin Pun Padam” menyiratkan pesan itu. Begitu pula kisah-kisah lain dengan narasi kesegaran dan kelembutan pada “Rumah Tanpa Kunci”, “Jalan Sepi”, “Rahasia Sebatang Pohon”, “Anak Kecil dan Uang Kembalian”, “Pertemuan”, dan “Melepaskan Segala Ingin dengan Ikhlas”. 

“Ketika Waktu Tak Bisa Dikembalikan” dan “Jangan Tunggu Besok untuk Memeluk”, menyindir dengan halus manusia yang suka menunda sesuatu, waktu. Manusia-manusia sering mengeluh kekurangan waktu, tapi ketika waktu-waktu itu hadir begitu leluasa justru dihabiskan untuk hal-hal yang tidak memberikan nilai tambah pada hidup. Dan pelukan. Pelukan bukan hanya sekadar sentuhan fisik, ia adalah ungkapan kasih sayang paling mujarab menyembuhkan luka, memberi kehangatan, dan mengingatkan bahwa kita tidak sendiri. Tapi kita? Kita abai dan menganggap remeh itu pelukan. Terkadang kita juga menunda memberi pelukan, berpikir masih ada besok, lusa, dan nanti. Kita lupa, bahwa hidup ini terlalu rapuh, dan waktu berlari begitu cepat. Jadi, sebelum benar-benar terlambat, berikan pelukan terbaikmu pada orang terkasih. Pun, kita harus belajar bahwa pelukan bisa dimulai dari dan untuk kita sendiri. Memeluk diri sendiri. Lewat puisi, Aan bertanya berulangkali, “Sudahkah kau memeluk dirimu hari ini?”

Rahasia Sebatang Pohon adalah secangkir kopi kewarasan. Menarik untuk diseruput mengisi waktu senggang. Entah sedang duduk sepi-sendiri di sebuah kafe, menikmati jam istriahat kerja di kantin-kantin perkantoran, atau ketika uring-uringan menunggu tiba jam tidur malam. Sangat cocok bagi jiwa-jiwa lapar dan kehausan. Dan nutrisi bagi tubuh, hati, dan pikiran manusia-manusia yang telah diculik kesibukan. 

Ada yang perlu dicatat. Setelah membaca buku ini, tak ada jaminan bahwa hidupmu akan tercerahkan dan semua masalah selesai. Memang, buku ini mengabadikan hal-hal kecil dan remeh. Tapi, lanjut Syekh Mahwi Air Tawar, jangan sekali-kali remehkan hal-hal kecil, termasuk membaca Rahasia Sebatang Pohon; kisah-kisah ringan yang menggugah karya Mustafa Ismail ini—siapa tahu, dari sebatang pohon, tumbuh hutan kesadaran dalam dirimu!

Ubaidillah Arif. Penulis sekaligus santri di Pondok Pesantren Wujud al-Qahwah.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak