Menjejaki Cerpen-Cerpen Shantined

Oleh Mahwi Air Tawar

(Peracik Kopi yang Tak Berbakat)


Perkembangan sastra Indonesia, khususnya genre cerpen, belakangan ini masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan—mirip seperti kapan sinetron hantu-hantuan akan benar-benar hilang dari layar kaca. Apakah ada sesuatu yang benar-benar baru dalam dunia cerpen? Atau kita hanya sibuk membungkus ulang ide-ide lama dengan jargon-jargon kekinian? Kalau ada yang tahu jawabannya, pasti Pak Maman S. Mahayana atau Kurnia Efendi. Atau, kalau mau lebih akurat, mungkin Google dan Ai

Sebagai seseorang yang lebih sering membaca timeline media sosial daripada jurnal sastra, saya sebenarnya bukan orang yang tepat untuk mengulas tren cerpen terbaru. Namun, seperti pepatah bilang, “meski kucing ikut antre makan gratis, ikan di piring tetap punyamu,” tiba-tiba saya justru diberi kehormatan untuk menjadi pemateri dalam peluncuran buku kumpulan cerpen pertama Shantined. Sebuah kehormatan yang mirip seperti seorang yang tidak bisa memasak, tetapi disuruh mengomentari cita rasa rendang di ajang kuliner nasional.

Tentu saja, di luar keterkejutan saya yang mungkin setara dengan orang yang menemukan nasi padang dikasih sendok plastik, ada hal yang patut diapresiasi dari pencapaian Shantined. Dua bukunya—kumpulan cerpen dan puisi—menjadi bukti bahwa ia bukan sekadar penulis yang iseng mengetik di sela-sela rebahan. Karyanya menyajikan refleksi kompleks tentang manusia, budaya, dan kehidupan sehari-hari, yang membuat pembaca merenung: “Apakah saya benar-benar membaca ini atau hanya terjebak dalam lingkaran overthinking?”

Cerpen pertamanya dalam buku ini menghadirkan judul dan sekaligus tokoh 'Ia'. “Ia” yang merasa bosan dengan rutinitas dan memutuskan untuk healing—sebuah konsep modern yang sering kali lebih mahal daripada efektif. Tapi seperti kebanyakan manusia, niatnya untuk liburan malah berubah menjadi nostalgia akut, sehingga yang didapat bukan ketenangan, melainkan episode panjang mengingat mantan dan masa lalu yang tak kunjung move on. Mungkin inilah alasan mengapa konsep healing tetap laris manis, sebab pada akhirnya, manusia lebih sering menemukan keresahan baru daripada ketenangan.

Shantined memang seorang pencerita yang pandai dan piawai, ibaratnya, ia seorang ibu yang pandai menyulam perca yang, walau terdiri dari kain berbeda di tangannya, pecahan perca itu terjahit dengan rapi hingga menjadi satu kesatuan, tanpa kehilangan komposisi dan estetika. Begitu pula dalam susunan tiap judul dan isi cerpen-cerpennya. Boleh saja, peristiwa dan setting dalam cerpen-cerpennya berbeda-beda, tapi di antara perbedaan-perbedaan itu pembaca akan melihat sebuah satu ke satuan pesan; tentang kehilangan dan jarak. 

Lihat saja, misalnya, pada cerpen berjudul “Emak”, seperti pada cerpen sebelumnya, si Emak, selain dijadikan judul, Emak juga menjadi tokoh utama. Sejak mula, Emak tidak hanya menjadi pembantu, oleh “aku” dan keluarganya bahkan ia dianggap sebagai orang tua sendiri. Maka wajar keakraban keduanya seperti perangko dia atas kertas. 

Suatu waktu si “aku” mendatangi Emak, entah rindu kepada Emak atau rindu kepada anak si Emak, yang selama Emak berada di rumah “aku” anak Emak itu hanya diceritakan samar-samar sebagai orang ganteng dan penuh pengertian. Benar saja, sesampainya di rumah “Emak”, si “aku” tidak hanya mendapati Emak sedang memasak, tetapi juga sekelumit kenangan yang tak bisa dihindari. Alih-alih mengadukan kelangkaan gas 3 kg di kota, ia justru terjebak dalam percakapan nostalgia yang membuatnya sadar bahwa Emak lebih paham tentang kehidupan dibandingkan semua seminar motivasi yang pernah ia ikuti.

Kita tahu, karya sastra bukan sekadar perjalanan menuju pemahaman, tepi lompatan ke dalam ketidakpastian. Dalam esainya, Octavio Paz menekankan bahwa puisi dan cerpen (sastra secara umum) bukanlah sekadar cermin realitas, tetapi juga alat untuk membongkar dan menciptakan makna baru. Begitu pula dengan cerpen-cerpen Shantined, yang tidak sekadar menceritakan, tetapi membuka ruang bagi pembaca untuk merasakan kegelisahan, ironi, dan absurditas kehidupan di dalam kehidupan.

Karya sastra adalah bentuk pemberontakan terhadap bahasa yang stagnan. Dalam dunia yang terus bergerak dan berubah, cerpen tidak hanya merekam kenyataan, tetapi juga menantangnya—menjadikan kata-kata sebagai jembatan antara realitas dan imajinasi. Dengan pendekatan yang cair dan penuh kejutan, karya Shantined bisa dilihat sebagai manifestasi dari gagasan di atas, tentang sastra yang terus berdialog dengan dirinya sendiri, melampaui batasan konvensional, dan pada akhirnya, membiarkan pembaca menemukan makna mereka sendiri di dalamnya.

Apakah karya-karyanya memiliki identitas yang kuat, atau justru seperti seseorang yang membuka banyak tab di Google, tetapi akhirnya lupa apa yang sedang dicari? Yang jelas, cerpen-cerpen Shantined membawa kita ke dalam realitas yang majemuk, menawarkan perjalanan sastra yang mengajak kita tertawa, merenung, dan mungkin sedikit overthinking di tengah malam.

Sekali lagi, Shantined, dalam buku kumpulan cerpen pertamanya, “Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau”, tidak hanya menyajikan cerita tentang sisi lain manusia, kesepian dan keterasingan manusia lewat tokoh-tokohnya, tapi ia juga mampu menghadirkan nilai-nilai lokalitas dan cerita-cerita dari pedalaman Kalimantan. Dalam “Saga, Serigala, dan Sebilah Mandau” pembaca tidak hanya akan bersua “kengerian” tapi juga bersua manusia, yang di sisi lain menyenangkan dan disaat bersamaan menyebalkan. Untungya, Shantined adalah manusia yang menyenangkan, ia tidak hanya menulis cerpen dan puisi, tapi, ia juga seorang pembaca puisi di panggung-panggung acara sastra.   

 *Esai ini ditulis sambil membayangkan ikan bakar tanpa kecap. 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak