Oleh Amelia Fitriani
Jumat, 14 Maret 2025, dengan perasaan campur aduk, saya menghadiri acara "Tadarus Puisi Ramadan" di Roemah Kuliner, Metropole, Jakarta. Acara yang diadakan oleh Creator Club ini jauh dari hingar bingar publikasi di media. Namun, kehangatannya justru terasa lebih dekat, lebih akrab. Hadirin yang datang pun bukan orang sembarangan—Denny JA, Fatin Hamama, serta beberapa akademisi dan budayawan turut meramaikan suasana. Mereka membaca puisi secara bergiliran.
Saya sendiri diberi kesempatan untuk membacakan puisi di tengah para tokoh itu. Rasa bangga bercampur gugup menyelimuti diri saya. Sebagai pencinta puisi, saya tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Maka, saya memutuskan untuk membacakan sebuah puisi karya Mahwi Air Tawar—seseorang yang saya anggap sebagai mentor. Meski begitu, Mahwi selalu menolak gelar itu. "Terlalu berat," katanya. "Mentor, apalagi guru, itu bukan hanya membimbing dan memberi gagasan, tetapi juga harus siap berjalan di belakang muridnya. Sementara saya masih penuh ego, masih ingin berjalan di depan."
Pernyataannya mengingatkan saya pada filosofi Socrates yang mengatakan bahwa seorang guru bukan pemberi ilmu, melainkan penggerak yang menuntun muridnya menemukan kebenaran mereka sendiri. Atau seperti yang dikatakan Nietzsche, pendidik sejati bukan sekadar memberi jawaban, melainkan membangkitkan pertanyaan yang membuat murid berpikir lebih jauh.
Apa pun alasannya, saya tetap bersikeras pada keyakinan saya. Seperti yang dikatakan Plato, "Guru yang baik bukanlah yang memaksakan ajarannya, melainkan yang membangkitkan kegembiraan dalam mencari ilmu." Dan bagi saya, Mahwi telah melakukan itu dengan caranya sendiri.
***
Beberapa hari sebelum acara, saya menemui Mahwi di sebuah kafe di Sawangan, Depok. Saya tahu, meminta sebuah puisi darinya seperti menimba air dari sumur yang tak pernah kering. Dan benar saja, tak lama setelah pertemuan itu, ia mengirimkan sebuah puisi berjudul "Sahur."
Di pertemuan itu, kami berbincang banyak hal. Bukan hanya tentang puisi, tapi juga perkara remeh yang ternyata punya makna besar dalam kehidupan. Percakapan kami mengalir seperti sungai—kadang tenang, kadang beriak. Kami berbicara tentang kehidupan yang penuh paradoks, tentang kejutan-kejutan kecil yang tanpa disadari bisa mengubah jalan hidup seseorang.
Seperti dalam cerita silat. Jin Yong, maestro cerita silat Tiongkok, pernah berkata, "Kadang-kadang, satu langkah kecil yang salah bisa menentukan hidup dan mati." Dalam The Legend of the Condor Heroes, misalnya, satu keputusan seorang ibu untuk melarikan diri ke Mongolia akhirnya membentuk nasib Guo Jing, menjadikannya pendekar besar. Hal-hal kecil yang tampaknya sepele justru kerap menjadi titik balik dalam kehidupan.
Gu Long, penulis lain yang dikenal dengan gaya filosofisnya, juga menegaskan, "Dalam kehidupan, hal-hal besar sering bergantung pada kebetulan-kebetulan kecil." Dalam kisah-kisahnya, satu cawan arak yang ditumpahkan atau sekilas tatapan mata bisa menjadi pemicu peristiwa besar—sebuah konflik, pertempuran, atau bahkan persahabatan tak terduga.
"Kita tidak selalu bisa memilih musik yang dimainkan kehidupan, tetapi kita bisa memilih bagaimana menari mengikutinya," ujar Mahwi, mengutip Viktor Frankl. Hidup memang penuh dengan kejutan. Kadang-kadang, yang terbaik yang bisa kita lakukan hanyalah menerima, lalu tetap melangkah ke depan.
***
Ada sesuatu yang istimewa dari puisi Sahur. Bait-baitnya bernafas tentang waktu, mengingatkan saya pada surat Al-'Ashr yang begitu saya sukai. Surat yang menegaskan bahwa manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling menasihati dalam kebaikan serta kesabaran.
Di acara Tadarus Puisi Ramadhan menjelang buka puasa, saya menarik napas dalam sebelum mulai membacakan "Sahur." Kata demi kata mengalir, membawa saya dan hadirin pada perenungan tentang waktu, keheningan, dan cinta yang terselip dalam setiap sahur. Setiap baitnya terasa seperti doa—pengingat bahwa dalam laparnya perut dan dahaganya tenggorokan, ada kebersyukuran yang harus senantiasa kita jaga.
Saya menyadari bahwa waktu terus bergerak, membawa kita menuju perhentian-perhentian baru dalam hidup. Dan selama masa itu masih menjadi milik kita, mengisinya dengan sesuatu yang bermakna adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal. Sore itu, sebuah puisi sederhana mengajarkan saya begitu banyak hal tentang hidup, kehilangan, dan harapan.
***
Kini, Ramadan akan segera berlalu. Seperti tamu istimewa yang datang membawa keberkahan, ia pun pamit, meninggalkan jejak kenangan dan pelajaran yang mendalam. Sahur yang semula menjadi bagian dari rutinitas, perlahan berubah menjadi kebiasaan yang tak lagi wajib. Kita memasuki waktu yang lain—Idul Fitri. Hari kemenangan, hari kembali ke fitrah, hari ketika kita merayakan keberhasilan menundukkan diri sendiri.
Namun, setelah takbir bergema, setelah lembaran maaf saling bertukar, apa yang akan terjadi pada hari-hari setelahnya?
Sebulan penuh kita telah berlatih menahan diri, bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga dari amarah, keluhan, serta keinginan-keinginan yang kadang melampaui batas. Ramadan mendidik kita untuk lebih sabar, lebih ikhlas, lebih peka terhadap kehidupan di sekitar. Tapi pertanyaannya, mampukah kita mempertahankan semua itu? Sanggupkah kita tetap berdamai dengan keadaan setelah Ramadan berlalu? Bisakah kita menjaga kebersihan hati, tanpa menggerutu ketika hidup tak selalu berjalan sesuai rencana?
Hari-hari setelah Idul Fitri sering kali menjadi ujian yang lebih besar. Jika di bulan Ramadan kita memiliki dorongan spiritual—suasana yang mendukung, masjid yang ramai, serta semangat kolektif untuk beribadah—maka setelahnya, kita kembali berjalan sendiri dalam keseharian yang penuh tantangan. Masihkah kita mampu bangun sebelum fajar, meskipun tak ada lagi sahur yang menanti? Masihkah kita tetap murah hati dan menahan emosi, meskipun tak ada lagi kewajiban puasa yang membatasi?
Idul Fitri bukanlah garis finis, melainkan awal dari perjalanan baru. Ramadan mengajarkan bahwa kemenangan sejati bukan hanya soal menahan lapar dan dahaga, tetapi juga menahan diri dari keluh kesah, amarah, dan rasa tak sabar. Hidup akan terus berjalan, membawa kejutan-kejutan yang tak selalu kita harapkan. Tetapi, jika kita mampu belajar dari Ramadan, kita akan tahu bahwa setiap peristiwa memiliki maknanya sendiri. Seperti yang dikatakan Jalaluddin Rumi, "Jangan bersedih ketika hidup menarikmu mundur. Itu artinya ia sedang bersiap melontarkanmu ke depan."
Maka, mari rayakan Idul Fitri bukan hanya dengan baju baru dan hidangan lezat, tetapi dengan hati yang lapang, kebijaksanaan yang lebih matang, dan kesiapan menjalani hari-hari ke depan dengan keikhlasan. Sebab kemenangan sejati bukan hanya saat kita bisa menaklukkan diri selama Ramadan, tetapi juga saat kita bisa menerima kehidupan dengan segala kejutannya, hari demi hari, sepanjang tahun.
Penulis: AMELIA FITRIANI, mompreneur kelahiran 1991, menekuni dunia menulis dan melukis. Saat menulis puisi ini, ia tengah berkuliah di LSPR Institute of Communication and Business. Mengawali karier sebagai jurnalis dan editor, ia kemudian merambah ke bidang public relations, event organizer, dan entrepreneurship.
Aktif menulis sejak kuliah, Amelia berkontribusi dalam berbagai antologi, seperti Azizah untuk Dato dalam Puisi Esai Anwar Ibrahim (2023) dan Ayah Seribu Anak (2024). Karyanya juga hadir dalam buku kumpulan cerpen Gadis, Leo & Lanang (2024) di Gramedia Digital serta Bukan Sekadar Perempuan di Balik Lembar Sejarah (2024).