Kebohongan, Cinta, dan Kebenaran

 

Oleh Mahwi Air Tawar

Ada kalanya berbohong dianggap sebagai jalan keluar untuk mencapai tujuan tertentu. Kebohongan seolah menawarkan kelegaan sesaat, menjadi pelarian dari kenyataan yang sulit dihadapi. Namun, setebal apa pun lapisan kain untuk menutupi kebenaran, pada akhirnya, ia hanyalah tirai tipis yang akan tersingkap dengan sendirinya ketika angin kenyataan menerpa. Saat itulah kebenaran menjadi keniscayaan tak terelakkan.

Pesan inilah yang tersirat kuat kuat dalam film The George, karya terbaru sutradara Scott Derrickson. Di balik atmosfer kelam yang menegangkan, film ini bukan hanya tentang teror dan horor. Ia adalah perjalanan mendalam ke dalam hati manusia, ke dalam rasa sepi, pencarian, dan pencapaian makna hidup. 

Berkisah tentang kehidupan dua sniper ulung, Levi Kane dan Drasa (tokoh utama dalam film ini) yang ditugaskan untuk menjaga sebuah tempat rahasia bernama Jurang Hampa. Mereka berdua terikat oleh kontrak dengan perusahaan militer yang mengembangkan proyek genetika berbahaya di lokasi tersebut—sebuah rahasia yang tidak boleh terungkap kepada siapapun, tak terkecuali kepada mereka yang dipekerjakan untuk menjaganya.

Levi, karakter utama yang diperankan dengan penuh emosi, adalah pria yang merasa hidupnya hampa, seakan tidak ada tujuan yang jelas selain menjalani rutinitas sehari-hari. Dalam wawancara dengan pihak perusahaan, yang akan memberinya tugas menjaga tembok timur, Levi mengungkapkan rasa keterasingannya. Ia merasa seolah tak ada lagi yang bisa diajak bicara, tak ada yang ia rindukan, tak ada seorang pun yang merindukannya. "Hidupku kosong," katanya.

Namun, di tengah kesunyian itu, ada Drasa. Seorang sniper wanita yang bertugas di menara penjagaan sebelah timur, tak jauh dari Levi. Percakapan mereka tidak terjadi dalam bentuk langsung, tetapi melalui isyarat-isyarat sederhana yang perlahan-lahan membangun sebuah ikatan emosional yang kuat. Dengan cara yang sangat halus, Derrickson menggambarkan bagaimana dua jiwa yang terasing bisa saling mencari dan menemukan makna dalam keberadaan mereka, meskipun hanya dengan cara yang tak terucapkan.

Di balik kisah cinta yang terjalin pelan, ada perasaan yang lebih besar yang perlahan terungkap. Cinta mereka—meskipun terbungkus dalam rahasia—mulai meruntuhkan batas-batas profesionalisme yang mereka jaga. Dan inilah titik balik dalam cerita. Ketika perasaan mulai menguasai, keduanya mulai mengabaikan tugas utama mereka—menjaga rahasia Jurang Hampa. Ini adalah pelanggaran yang berpotensi merubah segalanya, dan membangkitkan rangkaian kejadian yang tak terduga, yang menguji keteguhan hati dan kesetiaan mereka.

Narasi film ini semakin kuat dengan sentuhan puisi. The George tampaknya terinspirasi dari puisi The Hollow Men, karya T.S. Eliot, terutama dalam penggambaran keterasingan dan pencarian makna hidup. Puisi The Hollow Men karya T.S. Eliot menggambarkan manusia yang kosong secara spiritual dan emosional, kehilangan makna dan tujuan dalam hidupnya. Sebagaimana fil The George, puisi Eliot menunjukkan keterasingan, ketidakberdayaan, dan ketakutan akan kehampaan eksistensial.

Film ini bukan sekadar tentang misi seorang sniper atau konspirasi perusahaan, tetapi juga tentang seseorang yang mencoba memahami dirinya sendiri di tengah dunia yang terasa asing dan dingin. Levi, yang memiliki ketertarikan pada sastra, sering menenangkan diri dengan membaca dan menulis puisi. 

Puisi bagi Levi bukan sekadar rangkaian kata, melainkan cara untuk bertahan, seperti selimut tipis yang melindunginya dari kegelisahan hidup. Dalam berbagai adegan, kita melihat Levi duduk di tepi ranjang, mencoret-coret buku catatan kecilnya, atau menatap langit malam sambil menggumamkan bait-bait lirikal yang menggambarkan kesepian dan kehampaannya. Salah satu kutipan yang berulang dalam film ini adalah baris dari puisi The Hollow Men karya Eliot: "This is the way the world ends, not with a bang but a whimper." Baginya, dunia tidak selalu berakhir dengan ledakan dahsyat, melainkan bisa juga perlahan-lahan, dalam sunyi, seperti hidupnya sendiri yang terus berjalan tanpa arah yang jelas.

Kecintaannya pada puisi juga menjadi jembatan emosional antara dirinya dan Drasa. Di tengah keterasingan mereka, puisi menjadi bahasa rahasia yang menghubungkan mereka. Dalam satu adegan yang begitu intim, Levi menulis sebuah bait di selembar kertas dan menyelipkannya di balik sebuah batu di menara pengawas. Keesokan harinya, kertas itu menghilang—dan ia tahu, Drasa telah menemukannya.

Ketika akhirnya mereka bertemu di menara timur, Levi tidak berbicara banyak, tetapi matanya berbicara lebih dari yang kata-kata bisa ungkapkan, kecuali membacakan puisi yang ditulisnya untuk Drasa. "Dalam sunyi, aku menemukanmu.// Dalam gelap, kau menjadi terangku.// Kita bukan siapa-siapa bagi dunia, // tapi di sini, kita adalah dunia itu sendiri."

Momen itu singkat, tetapi begitu dalam, dalam puisi di atas itu ada harapan yang tumbuh di antara mereka. Cinta, dalam bentuk yang paling sederhana, muncul di antara dua orang yang seharusnya tak pernah bertemu, di tempat yang tak seharusnya ada perasaan.

Namun, sebagaimana puisi Eliot yang selalu membawa nuansa fatalistik, kebersamaan mereka tidaklah abadi. Seiring dengan terungkapnya rahasia besar yang disembunyikan perusahaan, Levi dan Drasa harus menghadapi kenyataan pahit: tidak semua kisah bisa berakhir bahagia. Seperti baris puisi yang sering ia gumamkan, dunia mereka mungkin akan berakhir, bukan dengan ledakan besar, tetapi dengan bisikan kecil—sebuah kebenaran yang akhirnya tak bisa lagi disembunyikan.

Scott Derrickson dalam The George mengajak penonton untuk merenung, bahwa cinta dan kebenaran, meskipun sering kali tersembunyi dalam kegelapan, selalu memiliki cara untuk menemukan cahaya. Keberanian untuk menghadapi kebenaran dan menerima kenyataan—meskipun itu pahit—adalah jalan menuju kebebasan sejati. Di sinilah letak keindahan dalam film ini. Setiap adegan terasa seperti sebuah puisi, dan di dalamnya terdapat makna yang lebih dalam dari sekadar kisah horor.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak